Gila, Dong Chan…sama cewek megang lengannya kasar banget sih !” protes Lea.
“Iya ya” sahutku.
“aA
hhhh…Ahhhh…Aahhh…Hehhh…Hehhhhhh”, Sherry menghela nafas panjang.
“Tapi khan, SHIT !!. Ahhhh… Aahhh… Shit !” racau Manda.
Kata sahutannya terpotong sodokan pertama Pak Karsimin tukang
kebunku, yang pindah dari gadis satu ke gadis lain. Jadi kami berempat
nonton Tv bugil sambil nungging. Digarap dari belakang di sela asyiknya
film Korea, My Fair Lady. Ini sudah masuk putaran ketiga, urutan kami
Sherry paling ujung, Manda, Lea baru aku.
“Kang Hye Na-nya juga yang galak, itu khan maksud lu Nda ?” sambung Lea.
“He-emh…Yeahh…Ahhh…Ahhhh…Oohhhh Shit !, ohh Shit !”. Pak Karsimin
mencabut penisnya yang baru selesai ‘nge-bor’ Manda, beralih ke Lea.
“O’-ow…FFUCK !!, Fuck u Oldman.aAAHHH… Fucker !, Yahhh…Yahhh !”.
Mataku tak konsentrasi menonton, menunggu giliran disodok, sekali
ke Tv sekali melirik ke sebelah. Begitu juga yang lain, meski Manda
dan Lea kurang suka pada Pak Karsimin, tetap saja kalau vaginanya
disodok ‘gak nolak, habis enak sih ^o^.
“Enak Say ?” tanyaku pada Lea, dia jawab dengan anggukan, membuatku iri semakin tak sabar untuk dientot.
“He-emh, Oohhh… Fuck me… Ohhh… Oohh….ssstt”, Pak Karsimin mencabut penisnya dari liang vagina Lea lantas pindah kebelakangku.
(Yes, finally…my turn), batinku, seraya menggigit bibir bawah menanti coblosan.
Pak Karsimin merentang lebar bibir vaginaku dan melekatkan kepala penisnya, “Emhh.. Yaaahhhh !”, mulutku menganga lebar.
Ekspresi dari vagina terbelah penis. Mataku redup saat menerima
sodokan-sodokan berikutnya. Pinggulku diraih untuk dimaju mundur
berlawanan hentakan. Tanganku mengepal pasrah ditunggangi dari
belakang. Bunyi tepukan perut Pak Karsimin dengan pantatku bergemuruh.
Payudaraku yang menggantung tidak dibiarkannya lepas, puting
dipilin-pilinnya.
“Iyaahhh…Yess…Yess…make me cum…make me cuahhhh…Aahhhh”. Pak Karsimin
berhenti menyodok, hendak menarik keluar penis untuk lanjut ke putaran
berikutnya mengincar Sherry.
Tanganku menangkap tangannya yang masih mencengkram pinggangku,
sebagai tanda larangan. Pak Karsimin mengerti bahwa aku masih mau
disodok, ketagihan akan nikmatnya. Namun setelah kutunggu beberapa
saat, sodokan itu tak kunjung tiba.
BRUK !!!, tubuh tukang kebunku itu menindih tiba-tiba, buatku
refleks mengaduh. Lea yang ada di sebelahku persis menjerit histeris,
orang pertama yang lihat dan tahu bahwa raga Pak Karsimin tak lagi
bernyawa. Setelah kugeser tubuhnya untuk memastikan kata-kata Lea,
jantungku berdebar kencang.
Kutatap wajah keriput Pak Karsimin yang tengah tersenyum Tukang
kebunku itu mangkat akibat serangan jantung, keluargaku tambah
berduka. Pertama Bang Jaja pergi, kemudian Mbok Siti, Pak Karsimin
menyusul kini. Rumahku sepi tanpa keberadaan mereka, pasti…
# Days gone by,
Kunikmati langit kuning ke-emasan mentari senja, duduk di bangku
menghadap taman dimana biasa kulihat Pak Karsimin tukang kebunku
seperti saat ini bekerja memangkas rumput. Betul saja, kepergiannya
buat rumahku terasa sunyi sepi. Tak ada canda tawa, teman bicara serta
pemuas nafsu liar-ku yang selalu menyala-nyala. Ketiga sahabat pun tak
selalu bisa menemani, masing-masing punya acara.
(Mm.. hari ini jum’at, besok weekend, minggu depan libur seminggu…ke
Villa ah besok, ‘dah lama), pikirku. Segera kuraih BB-ku dan menekan
sebuah nomor.
Aku : Halo, Sher…
Sherry : Yups… ada apa Kak ?.
Aku : Dimana lu ? lama banget ngangkatnya.
Sherry : Lagi latihan cheers di rumah, buat besok pertandingan
basket antar skul se-Jaksel minggu depan, skul khan Tuan rumah. Malah
tadinya mau nggak aku angkat, karena tahu ini ringtone Kakak aja.
Aku : Owh, yaah… tadinya gw mau ngajak lu ke Villa besok abis pulang sekolah, gw jemput gitu.
Sherry : Wah, maaf deh Kak..aku nggak bisa kali ini. Kak Manda or Kak Lea gimana ?.
Aku : Mereka juga kebetulan lagi ada acara, ya udah deh gw sendiri aja.
Sherry : Aduuh, maaf ya Kak.
Aku : Gapapa kok, lagian gw juga yang mendadak. Ya udah deh, daah Sher.
Kuletakan handphone dengan wajah tertekuk cemberut, bibirku manyun. Ringtone HP mengejutkan ke-BT-an itu.
Aku : Ya Pi.
Papi : Ni… coba kamu kesini sekarang, ke Mall Ambassador. Ada kejutan buat kamu.
Aku : Kejutan apa sey ?.
Papi : Iya udah.. makanya cepet aja kamu datang, ketemu di
tempat Hp langganan Papi ya biasa. Kalo kamu sudah sampai di parkiran,
miskol dulu.
Aku : Ukay Pap. Klik !.
Papi membuatku penasaran, ada kejutan apakah ?. Kuganti pakaian dan
segera memanasi mobil, siap-siap berangkat. Kuinjak pedal gas menuju
Mall tempat mereka berada. Sesampaiku disana, sesuai janji kumiskol
dulu Papi. Baru aku keluar parkiran, masuk ke dalam Mall naik elevator
ke lantai atas. Papi bilang dia sekarang ada di food court, untuk
melewati jalan singkat, kulalui kios-kios HP.
Seorang gadis berdehem ke-arahku, membuat langkah ini terhenti, (Aah rindunya, My cousin…Inge !).
Inge adalah sepupuku, anak dari Kakak Mami-ku yang tinggal di
Bandung. Seharusnya kupanggil dia Kakak. Tapi berhubung seumuran,
malah darinya lebih tua-ku setahun, dia tak keberatan kupanggil namanya
saja.
Sekian lama tak bersua, terpisah oleh aktivitas sehari-hari, kini
jumpa… senangnya. Semula aku agak pangling. Beranjak dewasa, makin
cantik saja dirinya. Warna kulitnya pun tak berubah dari dulu, putih
bak bangkuang lengkap dengan rambut panjang kemerahan.
“Hei…Nge !”, “Nia, gimana khabarnya ?” tanya dia sambil kami bertukar pipi.
“Baik baik. Aduh, kangen lho” sahutku, “Sama-lah hihi”, kami saling melempar senyum rindu.
Setelah berbincang singkat, kami menghampiri Papi Mami-ku juga
Bonyok Inge untuk menyapa. Mereka bertanya tentang kuliah dan
aktivitasku selama ini. Tawa merebak di kala obrolan menjurus ke arah
pacar. Ternyata Inge sama denganku, jomblowati.
Singkat cerita, Papi Mamiku dan Bonyok Inge pulang. Mereka bilang
ingin jalan lagi ke rumah Om dan Tante-ku (Adik dari Mami). Sedang Inge
bersamaku, menginap di rumah seminggu untuk mengisi liburan kuliah.
Kubawa dia istirahat di kamar meski masih ada kamar cadangan.
Menjelang malam after Dinner, kami bicara banyak hal. Mulai dari
kuliah… musik hingga fashion. Karena kami sama-sama anak gaul, obrolan
pun nyambung, selaras.
Suasana berubah ketika sampai ke hal yang bersifat pribadi. Inge
curhat padaku tentang mantannya yang tertangkap basah men-dua, punya
WIL. Aku heran kadang terhadap kaum Adam, sudah punya satu tetapi masih
saja kurang, apa sih yang mereka cari ?. Ujung-ujungnya pastilah
sama…meki !.
Kupandangi sepupuku Inge, apa lagi yang kurang darinya. Air mata
menetes dari sisi matanya yang jelita saat dia bilang mantan-nyalah
yang merenggut keperawanan-nya. Dasar, pria memang brengsek.
Kuusap-usap punggungnya berharap dia lebih tenang.
Agar terhibur, kuceritakan padanya kehidupan seks-ku yang liar.
Wajahnya jadi cerah berawan dari mendung gelap. Bahkan dia tertawa
senang waktu kuputar kaset handycamku, rekaman adegan seks gangbang
bersama para sahabatku. Inge orang luar pertama yang lihat video bokep
pribadiku.
“Hihihi, gila lu Ni…”.
“Yah habis…rata-rata cowok juga sama sih brengseknya, jadi sekalian aja gw main sama yang kayak gitu hihihi”.
“Iyalah gapapa, hitung-hitung ngehibur diri. Gw juga sering kok !”.
“Hah ?, maksud lu Nge ?”.
“Nih lihat”, dengan bangga dia perlihatkan padaku rekaman di Hpnya
sedang meng-oral supir keluarganya. Yang mengarahkan kamera phone
adalah supirnya, sesekali diarahkan ke wajahnya sehingga aku bisa
melihat betapa jelek perangainya. Beruntung sekali dia dan penisnya,
bisa mendapatkan kenikmatan seks dari sepupuku yang juga blasteran itu.
Inge memanggilnya Bagong dikarenakan ber-hidung besar, jerawatan,
gradakan tak rata bagaikan bulan. Whatever dengan nama aslinya, ‘gak
penting ^o^.
“Rupanya lu suka dientot kontol kampung juga hihihi”.
“Hihihi, eh tahu gak…mantan gw langsung melotot waktu gw kasih lihat ini hihihi”.
“Gila lu ah…”.
“Biarin aja, biar dia tahu cewek yang dipake dia sering main sama
orang ‘gak jelas, lebih parah dari dia Hahaha” tukas Inge dengan tawa
kemenangan. Tapi kuyakin di hati kecilnya pasti masih mencintai
mantannya itu. Kalau tidak, mana mungkin dia mau repot-repot rekam
adegan segala.
Tanpa terasa, pangkal paha kugesek saat melihat adegan wajah Inge
disirami mani oleh Bagong. Inge sendiri yang mengarahkan kamera
rupanya, memamerkan wajahnya yang belepotan cairan kental putih pekat.
Nafas sepupu-ku itu juga terdengar berat sedari tadi melihat adegan
seks, mana cuma ada kami berdua lagi.
“Ni, emh… kok, sssh gw.. horny niih…”.
“Sama Nge.shh… gimana doong ?”, bukan dijawab, wajahnya malah
mendekati wajahku, adu mulutpun terjadi di antara kami. Gila memang
kalau dipikir, kami khan saudara. Tapi itulah nafsu, jika kita tidak
mampu mengendalikan maka kita yang akan dikendalikan.
Mmhh.. cup..cuph !, demikian bunyinya saat kami bercipokan, lidah saling membelit dan bermain di rongga mulut.
“Ni..hhh… enam sembilan.. yuk ?”, dengan cepat aku mengangguk tanpa
berkata sepatah kata, tanda bahwa aku setuju. Kami segera menelanjangi
diri.
Inge rebahan, aku naik ke atasnya. Tanpa dikomando, langsung saling
menjilati kemaluan masing-masing lawan. Ooh…vagina Inge mungil
sekali, lebih kecil dari milikku. Betapa beruntung si Bagong, kulihat
di HP Inge yang masih memutar adegan, dia terlihat sangat keenakan
waktu berhasil menanamkan kejantanannya di liang yang sedang ku-jilati
ini. Tak terbayang nikmat hangat dan sempit yang dirasakan Bagong kala
itu. Wangi vagina Inge familiar, aku hafal betul. Berarti dia pakai
sabun pembersih kewanitaan merk sama denganku.
“Sssshh… Ngee..” desisku seraya menggeliatkan tubuh, waktu lidahnya
mempermainkan klitorisku. Inge juga berdesis waktu kubalas
perlakuannya.
Tubuh kami berguling ke kiri dan ke kanan mencari kenikmatan,
“Yaahhhh Niiiii”, Inge mengerang-erang waktu liang-nya kucolok dengan
jari. Aku menyusul kemudian karena dibalas olehnya, badanku panas
serasa dibakar, terbakar nafsu.
“Iyaaahhh… Iya-Aaahhh…”, kuremas sprei kencang-kencang, tubuhku
menggigil hebat disertai desahan panjang yang menandai orgasmeku.
Tanpa sengaja kutancapkan jari dalam-dalam ke vagina Inge, Inge
menyusul orgasme karena ulahku itu. Tubuh kami meledak nikmat
bersamaan. Jus cintanya mengucur deras keluar vagina, dengan penuh
cinta kusapu bersih dengan lidah. Inge membalas apa yang kulakukan
padanya.
Kami rebah di ranjang dengan nafas tersengal-sengal. Kupeluk Inge
dari belakang, dia mencium pipiku layaknya pasangan lesbo yang mengucap
terima kasih pada pasangannya. Klakson mobil Papi terdengar dari luar
pagar. Kami merapikan diri seadanya, pergi keluar menyambut kedatangan
mereka lalu balik ke kamar menuju alam mimpi sambil berdekapan.
# Exhibitionist Vs exhibitionist,
Esoknya saat sarapan di kamar berdua, aku kembali ingat rencana awal, yakni ke Villa.
“Eh, Nge…sebenarnya gw mau ke Villa di puncak sendiri hari ini,
pulang Minggu siang. Karena ada lu, kesana yuk berdua…males gak ?”.
“Wah mau banget tuh. Belum pernah gw khan”. Aku tersenyum senang, dengar respon positifnya.
Selesai makan kami mandi (sendiri-sendiri takut busted sama Papi
Mami ^o^). Kemudian menyiapkan pakaian untuk beberapa hari disana.
Sekitar jam 10-an, baru berpamitan.
“Pi..Mi.. aku mau nginep di Villa ya sama Inge, dua atau tiga hari
gitu. Libur panjang nih kampus” kataku meminta izin, sambil mencium
punggung tangan mereka.
“Ya, boleh. Kamu udah telpon kesana belum ?. Nanti Pak Mangun enggak
ada lagi pergi, Hmm ?” tanya Papi menyinggung nama penjaga Villa kami.
“Udah kok, Pak Mangun-nya ada. Ya udah, nanti keburu macet.. dah
Papi dah Mamii” pamitku sambil melambaikan tangan. Inge turut melambai
setelah di beritahu Papi-ku bahwa Papi Mami-nya menginap di rumah Om
Bernard (Adik Mami-ku), dan pulang lebih dulu, dia nanti akan dijemput
Bagong supirnya.
Di perjalanan, kami sempat terjebak macet. Edan memang Jakarta, tol
saja antri panjang. Untung tak berlangsung lama, rupanya ada
kecelakaan. Dalam waktu 2 jam kurang lebih, akhirnya sampai juga kami
di Villa.
Din, Diin !!, seorang lelaki paruh baya membuka pintu gerbang
setelah kutekan klakson mobil beberapa kali. Pak Mangun, penjaga
Villaku yang namanya disebut Papi. Bibirnya tebal terus hitam lagi,
pasti menjijikkan jika dicium olehnya. Kening hingga atas kepala
plontos, rambut keriting kriwil melingkar ke belakang dari sisi kiri
dan kanan. Lengkap dengan kumis, janggut dan cambang yang semrawut tak
terurus.
Masih kasak kusuk di dalam mobil, Inge bicara iseng padaku “Eh, penjaga Villa lu boleh juga hihihi”.
“Hihii, dasar. Eh, kebetulan sih gw belum pernah dientot dia. Kita
adu pamer body yuk ?. Siapa yang bisa bikin dia ngaceng bahkan sampe
coli, dia yang menang”.
“Kita diem aja gitu kalo dia coli ?”.
“Iya, pura-pura aja nggak lihat. Pake kacamata hitam deh, gw punya kok di jok belakang Oakley 2 biji”.
“Oke, yang kalah musti apa nih ?”.
“Traktir Hanamasa ya pulangnya ?” tantangku, Inge tertawa tapi kemudian mengangguk setuju.
Bola mata Pak Mangun melihat jelalatan waktu kami keluar mobil,
terutama pada Inge yang baru saja dilihatnya berpakaian seksi berupa
blouse terusan biru dada rendah tanpa bra dan kaus dalaman, dipadu
dengan sepatu kets putih. Sedang aku untuk suasana rileks ini,
mengenakan halter neck hitam yang memperlihatkan punggung. Kupasangkan
dengan rok pendek jeans abu-abu muda ketat dan high heels black bertali
membelit betis.
“Ups…”, pura-pura kujatuhkan tas berisi pakaian di dekat Pak Mangun, sebagai aksi eksibisionis pertamaku.
Aku merunduk nungging, hingga Pak Mangun bisa memandangi punggung
putih saljuku yang selalu terawat dengan mandi susu dan sabun Shinzui.
Kulihat Inge tersenyum melipat tangan seakan menilai ‘Lumayan sebagai
pembukaan’. Point awal kudapat waktu kulihat celana training Pak Mangun
menonjol di bagian selangkangan, pasti konak dunk ^o^.
“Sini gw bantu Say”, Inge merunduk persis di dekat Pak Mangun, mata
orang tua itu kulihat melotot serasa mau copot lihat dada montok Inge
yang menggantung indah.
(Shit !, kecolongan gw !), keluhku dalam hati.
Rasa tak mau kalah buatku berusaha lebih, “Aduuh, ada barang mudah
pecah ‘gak yah ?” acting-ku. Berjongkok hingga sangat bisa dipastikan
Pak Mangun kini melihat paha dan C String-ku, karena kulihat penjaga
Villa-ku itu membetulkan celananya yang menonjol semakin tinggi di
selangkangan. Bukti bahwa dia ereksi berat, yes !.
Inge yang merasa kalah 2-1 dariku, langsung menenteng tas masuk ke
dalam Villa disertai wajah cemberut. Sebelum menyusul, kutitip uang ke
Pak Mangun untuk beli makan siang. Aku berbenah pakaian di kamar yang
sama dengan Inge. Kompetisi eksibisionis buat suasana sedikit kaku,
dikarenakan timbul rasa bersaing dan keinginan untuk menang. Kami jadi
jarang bicara, waktu makan siang satu meja pun tak ada sepatah kata
keluar dari mulut. Isi kepala Inge pasti sama denganku, berpikir mau
bagaimana ke Bandot Mangun.
Selesai makan Inge buru-buru keluar tanpa menaruh piring di tempat
cucian. Aku jadi ikut-ikutan malas. Terpaksa kususul agar tidak
keduluan olehnya. Benar saja, kulihat Inge berjalan mendekati Pak
Mangun yang sedang menata bentuk tanaman di taman. Untung hari tidak
begitu terik, udara dingin di Puncak menyerap panasnya matahari.
Inge mulai beraksi, “Lagi berkebun ya Pak ?”.
“Eh-oh…iya Neng, iya” sahut Pak Mangun.
Ia sedikit tergagap karena kaget, tambahan Inge mendekatinya sambil
menggulung ujung rambut dengan jari (TP gethu ^o^). Pak Mangun tambah
tegang melihatku ikut mendekat. Bagaimana pun juga ia pasti ingat
kejadian tadi. Punggungku, toket Inge, paha dan celana dalamku.
“Pak, aku mau main ayunan. Bapak bantu dorong yah” pinta Inge sambil menggelendot manja ke Pak Mangun.
Wajah penjaga Villa-ku itu mau-mau malu. Inge menarik lengannya,
memaksa letakkan gunting besar pemangkas tanaman di tangannya.
“Bapak dorong dari sini yah…”, Inge memposisikan Pak Mangun
berhadap-hadapan, dia sendiri duduk melipat kaki ke atas bangku
ayunan. Sehingga pria setengah abad di hadapannya itu bisa melihat
jelas dan gratis celdam tipis merah jambunya.
(Gila lu Nge… ada juga orang dorong ayunan dari belakang, bukan dari
depan !), aku mengeluh dalam hati, sambil cari akal untuk membalas.
“Ayo..dorong Pak !” rengek Inge, karena Pak Mangun malah berdiri diam terpaku oleh pemandangan indah dihadapannya.
Mau memang mau, Pak Mangun cari celah untuk mendorong. Jarinya
kulihat curi-curi kesempatan mengenai paha dan betis Inge yang putih
mulus itu, kuyakin Inge tahu tapi sengaja membiarkan. Sepupuku yang
bitchy itu menjerit-jerit tertawa senang bagai anak kecil saat ayunan
terayuh oleh dorongan.
“Yang kenceng Pak, Aaah hahaa” tawa Inge lebay, sebab makin kencang
ayunan makin tinggilah ayunan terangkat. Paha dan celdam pun semakin
mudah untuk dapat dilihat.
(Wah, bisa K.O kalo begini caranya Mm), kulepas high heels dan naik
ke perosotan mini, sebenarnya di set untuk anak kecil. Berhubung
persaingan ketat, maksa dikit ^o^.
Uh bener-bener sempit. Kulipat kedua kaki pun tak muat. Tapi
kebetulan, karena itu ada alasan buat pamer dalaman. Kuangkat dan
kuletakkan telapak kaki di pinggir perosotan, sehingga kaki-ku
terkangkang lebar persis wanita melahirkan.
“Paak, Pak Manguuun…sini !”, kulambaikan tangan ke arah penjaga Villa-ku yang masih asyik memelototi dalaman Inge.
Inge cemberut karena kuusik proyek bikin laki ngecrotnya. Pak Mangun
jalan ke arahku sambil menatap nafsu bawahanku. Sebagai pria
pengalaman banyak makan garam, tentu dia tahu bahwa kami menggodanya,
tapi dia ikut saja permainan yang kami suguhkan.
“Pak, jagain Nia yahh. Nantii, Nia jatuh” manjaku, Pak Mangun langsung jongkok siap menangkap di bawah.
Kuluncurkan tubuh, “Kyaaaaa…*Bruk !*, Aduh…atit !”. Pak Mangun
tertindih tubuhku, bukannya sigap menangkap dia malah sigap menatap.
Sebelum bangkit sengaja kutekan dadaku ke dadanya dan pinggulku ke
pinggulnya.
“Kok nggak ditangkep sih Pak” keluhku, memukul kecil lengan seolah-olah tubuh pegal karena jatuh, mustahil sih.
“Maaf Non, ternyata Non cukup berat buat Bapak yang sudah tua ini”
kilahnya beralasan. (Bilang aja lu ngeliatin cangcut gw !) batinku.
“Maaf ya Non, sakit ya ?”, tanyanya sambil memijati lenganku. Aku
tersenyum akan dua hal, yang pertama senang melihat Inge berhenti main
ayunan masuk ke dalam Villa, yang kedua senang atas perhatian dan
pijitannya. Setan merasuki otak, timbul gairah sex, ingin rasanya si
tua bangka ini memperlakukan tubuhku sesukanya dimana aku tak berdaya.
(Mau apa Inge masuk ke dalam Villa lama, apa dia nyerah ?, ‘gak mungkin !) batinku.
Pertanyaan itu terjawab saat kulihat Inge keluar memakai pakaian renang minim, bisa dibilang hanya CD dan Bra.
(Damn.. she strikes again !), Pak Mangun menatap nafsu Inge, gadis
muda blasteran Indo berpakaian seperti itu, terlalu seronok bagi orang
seudik dia. Dulu kalau ke Villa bersama keluarga, tentu pakaian
renang-ku tidak se-vulgar yang dikenakan Inge sekarang.
Kali ini Pak Mangun berani memegang ‘barang’nya yang mengacung tak
jelas arah itu di depanku yang jelas-jelas sedang memperhatikannya.
Bahkan benda itu dikocoknya meski masih terbungkus celana yang
sepertinya tanpa kolor.
Inge menghampiri kami sambil melenggokkan tubuh sintalnya yang
selalu terawat melalui fitness dan jogging, “Pak Mangun, aku mau
berenang…tapi lantainya licin. Tolong dikeringin dong biar nggak
kepeleset” suruh Inge sambil mengibas rambut panjang indahnya
kebelakang.
“Baik.. Non” jawab penjaga Villa-ku dengan nafas tersendat, perlahan
si tua itu bangkit sambil meluruskan selangkangannya yang menonjol,
yang tidak mungkin ditutup-tutupi kalau dia sudah ereksi maksimal.
Seperginya Pak Mangun, Inge melipat kedua tangannya dan tersenyum
menang ke arah-ku, disambung tawa jahat sambil berlalu pergi
meninggalkanku seorang diri.
(Enak aja…belum menang lu !), geram-ku dalam hati.
Segera kutanggalkan pakaian dan meraih pakaian renang milikku di
kamar. Selesai ganti pakaian, kuintip sejenak mereka. Kulihat Inge
melakukan pemanasan renang agar kaki tidak keram. Memang betul sih,
tapi kok sengaja membungkuk-bungkuk di samping Pak Mangun gitu loh.
Tentu saja bandot itu menyerok air kolam di lantai situ-situ saja,
tidak pindah tempat, plis deh.
Aku berpikir keras untuk ide serangan balasan, (Mmm, pijit lengan
tadi boleh juga. Bisa dikembangkan), mataku melirik ke botol suntan
oil. Kuambil benda itu, tak lupa pula ke mobil untuk mengambil kacamata
hitam dan cepat-cepat ke kolam untuk menunjukkan Inge dengan siapa dia
berhadapan.
Mata Pak Mangun jelalatan, berpindah-pindah dari Inge ke aku, aku ke
Inge, begitu seterusnya hingga kerjaannya lebaran kadal baru rampung.
“Pak Maangun, sini deh…” godaku, tersenyum sambil merendahkan kacamata hitamku dan mengedipkan mata padanya.
Pria itu mengikutiku seperti orang terhipnotis. Sapu serokan air
kolam dilempar olehnya jauh-jauh sewaktu kutuntun dia melalui tarikan
di baju lusuhnya. Tujuanku adalah kursi santai panjang pinggir kolam,
kulenggak-lenggokkan pantat dimana Pak Mangun ada di belakangku, tentu
mudah ditebak kemana arah matanya. Pasti dia sudah ingin betul meremas
atau bahkan menamparnya.
Sampai di kursi kolam, kurebahkan diri terlentang menatap langit
biru berawan putih nan indah. Di balik kacamata hitam, kulihat wajah
Pak Mangun sange abis, jika aku bukan Nona majikannya, pasti sudah
diperkosanya habis-habisan.
“Tolong olesi badanku pakai ini Pak, terus sekalian pijitin. Pegel abis nyetir berjam-jam” suruhku disertai kebohongan manis.
Pak Mangun menerima lotion yang kuberikan dengan wajah tak percaya.
Penisnya berkedut membayangi tangannya boleh menyentuh kemulusan tubuh
Nona majikan yang selama ini hanya bisa dilihat. Setelah membuka tutup
dan menabur lotion di telapak tangannya, Pak Mangun minta izin untuk
mulai ‘memijit’. “Maaf ya Non..” katanya.
Kurasakan jari tangan si tua itu memijat ujung jari kaki, turun
menjalar ke betis perlahan. Ternyata Pak Mangun pintar memijat, mungkin
karena orang kampung. Ia angkat kakiku, lalu dipijatnya betis dan
paha bagian belakang. (Hmmh, sekalian ngelus lu yaa…bagus !), aku
membatin.
Kacamata hitam bantuku sembunyikan pandangan. Kepalaku menoleh ke
samping pura-pura tidur namun masih bisa melihat jelas aksi telapak dan
jari tangannya merambat ke paha. Diusapnya bagian itu berkali-kali,
bulak-balik seperti setrikaan. Tua-tua keladi itu semakin menjadi di
kala jarinya dekat kewanitaanku.
Pucuk dicinta ulam tiba baginya ketika kurenggangkan kedua belah kaki sebagai ‘akses’ pijat plus-plusnya ke memek-ku.
“Emhh…”, setengah mati kutahan libido dengan menggigit bibir
bawahku, waktu kurasa jari jempol bandot itu diantara pinggir pangkal
paha dan bibir vagina yang masih terbalut celana renang.
Jari itu memijit perlahan mendekat ke bibir vagina, dan Ouwh, yaah…
semakin lancang, digeseknya sepasang bibir kemaluanku. Tubuhku
menggeliat nikmat panas terbakar oleh nafsu. Meski terlapis celana
renang, tetap saja berbahan tipis. Jempolnya yang besar itu terasa
sekali curi-curi kesempatan, dasar bandot.
JLEB !, ‘Mmffh !’.
“Ma-maaf Non” kudengar suara penjaga Villa-ku yang kurang ajar itu.
Sial, jelas-jelas dia sengaja menekan masuk jempolnya ke liang
vaginaku, tapi seolah tadi dia bersikap bagai kecelakaan ban mobil
terjeblos masuk lubang selokan. Rese’nya lagi, ditariknya keluar celana
renangku yang terlepit liang cintaku.
‘Clek !’, (Oh No.. what a shame for me !). Pasti dia lihat kalau
celdamku basah, karena memang liangku sudah lembab sedari tadi sejak
pijitan nakalnya. Kudengar suara ‘Cup.. cup.. cup’, kulihat dia sedang
mengemut jarinya yang tadi tercelup masuk vaginaku.
Takut dia semakin brengsek, bukannya dia ejakulasi malah aku yang
orgasme, kutelungkupkan tubuh. Saat berbalik, kulihat Inge berdiri di
pinggir kolam melihatku unjuk gigi. Oh iya, aku hampir lupa padanya
karena keasyikan. Kelihatannya Inge putus asa menghadapiku hihihi,
ternyata dia tak cukup bitchy untuk mengalahkanku.
“Terusin ya Pak !” suruhku. Tangan Pak Mangun pun langsung kembali memijit, mulai dari betis terus naik ke pantat.
(Ini sih grepeh, bukan mijit !) batinku, waktu kurasa tangan Pak
Mangun berlama-lama di bongkah pantatku. Tangan itu jelas-jelas
meremas. Malah sekali atau dua kali body-ku itu ditepuknya serasa
pemijit professional, padahal berniat spanking.
Pencabulan kian meningkat, tangannya menjalar ke punggung. Memijit
bagian samping kiri dan kanan yang tentunya mengarah ke payudara.
Melihat reaksiku nol, Pak Mangun makin tak tahu diri. Ia berani menaiki
pantatku [tapi tidak ditindih], lalu menggesek penisnya yang full
ereksi itu sambil memijit dada dari samping.
“Mmpp…Mmph…Mmhh !!”, aku nekat buka mulut dan bersuara karena tak
berdaya lagi menahan libido. Pak Mangun pun semakin cepat menggesek,
tampak dia menyukai desah lirihku yang terdengar seksi di telinganya.
Kurasakan sebelah tangannya yang memijit dada kananku ditarik mundur,
lalu terdengar suara menahan nafas.
CROOOTT !!, CROT CROOT !!. Cairan kental terasa menumpuk di pantat,
rambut dan punggung-ku. Pak Mangun mengocok dan ejakulasi rupanya.
Akhirnya aku menang, dengan susah payah dan melalui jalan penghinaan,
aku tak perduli. Inge pasti berang tahu hasil ini hihihi, yes.
(Pinter lu ya, mau nutup jejak. Emang gw bodoh !), umpatku, waktu
kurasa telapak tangannya meratakan cairan kental itu agar tidak
ketahuan olehku kalau itu sperma.
Beberapa saat kemudian setelah dia selesai, kudengar Inge berteriak
entah mencari ulah apa lagi. “Pak Mangun… aku ‘gak butuh ini, tangkep
!”, aku menoleh karena penasaran apa yang dilakukannya, dengar reaksi
Pak Mangun terkaget-kaget, ‘HAIIIHH !?’.
TAP !, dengan tangkas penjaga Villa-ku itu menangkap barang yang
dilempar Inge. GILA !!”, Inge telanjang dan melempar pakaian renangnya
ke Pak Mangun. Edan, pasti dia kesal karena kalah olehku.
Sudah begitu, dengan cueknya dia nyebur ke kolam. Berenang bugil
gaya bebas ke sisi seberang kolam memamerkan tubuh telanjang bagian
belakangnya. Lalu balik memakai gaya punggung pamer tubuh telanjang
bagian depan. Aku dan Pak Mangun sampai tidak bisa berkata apa-apa
melihatnya. Pasti penjaga Villa-ku itu kini sangat menikmati
pemandangan indah yang dikonsumsi matanya. Namun tak kunyana, GUBRAK
!!.
“AAA !, Pak Manguun..Bapak kenapa ?” teriakku, kaget melihatnya
jatuh telentang lalu kejang-kejang persis orang ayan sambil menggenggam
pakaian renang Inge.
(Aduh, jangan sampe kayak Pak Karsimin lagi nih !), pikirku kalut, takut dia meninggal gara-gara keisengan kami.
Inge yang ada di tepian sedang memburu Oksigen ikut panik, segera keluar dari kolam mendekat dalam keadaan telanjang bulat.
“Pak Manguun… bangun Pak !, jangan bikin takut dong”.
“Aduh Ni.. gimana nih ?”.
“Lu sih gila !”.
“Yee, kok jadi salah gw. Managetehe kalo dia ayan gene !”, Inge protes.
Selesai berdebat, kudapati Pak Mangun tertangkap basah mengintip
Inge yang tubuhnya tak ada sehelai benang pun menutup. Kubisiki
sepupuku itu sesuatu, dia menahan tawa dengar isi bisikanku.
“Wah Nge, musti dikasih nafas buatan nih.. kalo pingsan gini” kataku.
“Ya udah Ni cepet, nanti keburu lewat lho”, Inge menyahut disertai
senyuman, segera kulekatkan bibir mungilku ke bibir tebal Pak Mangun,
reaksi orang tua itu gelisah. Terlihat dari pori-pori dahinya yang
keluar banyak peluh.
Bukannya kuhembuskan udara ke mulutnya, malah kucipok dia, jijik
sih. ‘Cuph.. Cuph, Mm..Cuph !’, begitu suara kami bercipokan. Aku
spontan berhenti sewaktu kurasa bibir Pak Mangun balas mengulum, bandot
itu kecewa.
“Yaah, enggak berhasil. Lu deh Nge !” suruhku, yang dijawab Inge dengan ‘Ukay’.
Inge lebih jalang mempermainkan Pak Mangun, lidahnya menjilati
bibir tebal hitam penjaga Villaku itu. Mulut Pak Mangun kali ini nekat
memagut meski masih terlihat pura-pura pingsan. Di sela cipokan mereka,
Inge kulihat sesekali tersenyum, semakin terbukti bahwa Pak Mangun
pingsan bohongan. Dengan jahil, kugelitik selangkangannya yang menonjol
besar itu dengan jari kaki. Kupijat-pijat kepala penisnya dan benda
itu langsung berkedut-kedut, iih khan pura-pura ^o^.
Aku bangun berdiri lalu melepas juga pakaian renangku ikut bugil.
“Nge, kayaknya ‘gak mempan deh…musti pake’ yang lain, minggir !”
kataku. Inge tertawa cantik melihat aku berjongkok mengangkang di atas
wajah Pak Mangun.
Tua bangka itu tak bisa lagi menutupi kebohongannya, setelah
hidungnya mencium wangi vaginaku. Matanya melotot sewaktu kulekatkan
memekku ke bibirnya. “Sruuuuuuuuuuupph !!”, aku mendesah sepanjang
sedotannya…lirih karena dia menyedot rakus.
Senjata makan Nona buatku, kucing dikasih daging, mulut Pak Mangun
mempermainkan memekku habis-habisan. Dijilat, dihisap, diemut, dicelup
lidah, semua yang buatku melejang-lejang kenikmatan serasa terbang ke
awan.
Dengan penuh nafsu dia lahap bibir vaginaku, diemut dan ditarik
seakan ingin lepas untuk ditelannya mentah-mentah. Inge masturbasi
melihat adeganku, serasa nonton bokep saja dia.
“Ni.hh…gw…mau.hh.juga..dong.nghh” pinta Inge dengan wajah horny.
Tanpa dikomando lagi, Pak Mangun mendudukanku diperutnya, sehingga
Inge bisa naik ke atas wajahnya. Begitu Inge jongkok mengangkang,
langsung disedot habis memeknya. Saking maruknya Pak Mangun, tubuh
Inge terangkat naik turun, dipenetrasi melalui celupan lidah.
Aku mundur sedikit ke belakang, tepat dibawahku kini kejantanan Pak
Mangun yang keras ereksi. Kutarik turun celananya dan kukulum
penisnya, penjaga Villa-ku itu langsung ‘Oookh.. Oookh..”,
melenguh-lenguh keenakan.
Semakin liar kuoral, semakin kuat dia menyedot vagina Inge. Aku tak
tahan, kugenggam benda itu dan kumasukkan ke vaginaku. “AHHH !!”,
ternyata ‘barang’ Pak Mangun terlalu besar untuk liangku. Pak Mangun
sendiri melenguh dengan lidah terjulur dan nafas berhenti ditenggorokan
nikmati jepitan vaginaku. Dari belakang, kuremas payudara Inge sambil
menggenjot naik turun seperti menunggang kuda setelah liang cintaku
terbiasa dengan benda tumpul yang mengganjal di dalamnya.
Pak Mangun menyentak pinggulnya ke atas, sehingga makin dalamlah
penisnya melesak. Kuputar pinggul bagai mengaduk adonan, liangku
terasa diaduk-aduk. Inge berhenti sejenak memutar tubuh hingga aku
berhadap-hadapan dengannya. Vaginanya masih menjadi korban kerakusan
mulut Pak Mangun yang doyan memek itu. Aku dan Inge bergenggaman
jemari, “Gi-la-Nge-e-e-e…….e-nak.ba-nget, Ahhhh”, aku meracau asal,
racauan seorang gadis muda penggemar seks. Wajah Inge sama sayu
denganku, puncak kenikmatan sudah di depan mata karena berulang kali
bibir vaginanya disapu lidah dan di-emut Pak Mangun.
“Non Niaa, aw-was..ham,Leph…mil.Ooookh !” kata Pak Mangun, memperingatkanku bahwa dia mau muncrat disela jilmek Inge.
Dengan alat kontrasepsi berupa pil, aku yang free sex ini tak takut
dengan hamil di luar nikah. Kupacu tubuhku gencar naik turun, tapi
bukan Pak Mangun yang keluar, malah gerakanku itu yang menghantarku ke
gerbang kenikmatan. “AAAHHH !”, kutancapkan dalam-dalam penis Pak
Mangun di liang cintaku, tubuhku menggigil.
Pak Mangun meremas pantatku dan memutarnya, vaginaku seperti diaduk,
‘CROOT’ cairan kental hangat menyembur deras. Bandot itu ejakulasi
sambil menyedot sekuat tenaga memek Inge, suara sedotan itu terdengar
keras sekali. Sehingga Inge pun menjerit histeris tak kuasa menerima
kenikmatannya. Cairan bening membanjiri sekitar dagu Pak Mangun, kami
bertiga klimaks.
Aku melepaskan diri dari Pak Mangun, penisnya yang belepotan juice
cinta dan sperma masih terlihat tegang. Ia segera bangun, tampak tak
sabar ingin menjajal jepitan memek sepupuku. Inge yang keadaannya
telungkup dengan nafas tersengal-sengal, diangkat di bagian pinggul.
Pak Mangun menempatkan diri di belakangnya, Inge melebarkan kedua belah
kaki tahu orang dibelakangnya hendak apa. Kepala Inge yang tertunduk,
mendongak seketika tanda penis berhasil menyeruak masuk.
Inge terpental-pental, rambut panjangnya awut-awutan, begitu birahi
Pak Mangun pada sepupuku itu. Pak Mangun menarik kedua lengan Inge
kebelakang, suara tepukan tubuh mereka terdengar keras. Pekikan Inge
kian nyaring digagahi demikian nafsu. Langit kuning ke-emasan membalut
suasana kian erotis. Entah Inge kewalahan dengan sodokan Pak Mangun
atau apa, kulihat dia perlahan memijak lantai dan berdiri setengah
bungkuk. Pak Mangun yang masih getol, mengikuti posisi Inge sambil
terus menyodok.
Sepertinya Inge ingin melihat pantulan wajah sayunya di air kolam karena mereka memang sedang doggy style standing
di pinggirnya. Tak lama kaki Inge kulihat bergetar, terlukis kalau ia
orgasme dengan cairan bening mengalir dari selangkangannya, turun ke
paha terus mengalir ke betis. Pak Mangun berhenti menyodok sesaat. Inge
kembali jatuh berlutut lantaran kakinya tak lagi bertenaga. Pak
Mangun meneruskan lagi hasratnya pada Inge hingga tuntas dengan
menyodok penuh nafsu. Ia tarik lengan Inge hingga punggung Inge
melengkung kebelakang, sementara dia menggeram penuh kenikmatan.
Sperma yang super banyak itu tak tertampung vagina, meluber keluar.
Pak Mangun melepas cengkramannya perlahan, cairan putih kental
menjuntai diantara vagina Inge dan penisnya. Persenggamaan usai, Inge
lunglai, Pak Mangun tersenyum puas targetnya tercapai.
***
Setelah membalut tubuh dengan kimono sehabis mandi, aku dan Inge
menuju ruang makan. Karena tak ada lauk, aku memesan Mbok Berek
delivery. Pak Mangun yang kurang suka makan ayam memilih makan diluar.
Sambil menunggu, aku nonton Tv di ruang tengah, Inge hilangkan jenuh
dengan membulak-balik halaman majalah GADIS. Tak lama, pesanan pun
datang, juga Pak Mangun. Dengan bangga dia tunjukkan jamu Kuku Bima
Pasak Bumi yang dibelinya dari uang-ku untuk membantaiku dan Inge
setelah kami makan.
Hari hampir tengah malam saat kami selesai makan, stamina terasa
pulih. Kusiapkan menu berikutnya untuk hidangan penutup, Black Forest
my favorit cake ^o^ yang kubeli dijalan siang. Inge memberikan sendok
pemotong kue padaku, Pak Mangun menyebar perangkat makan dan membuat 3
gelas sirup Marjan Coco Pandan sebagai minuman. Moment ini untuk
merayakan Pak Mangun yang akan segera bergabung di keluarga-ku sebagai
pembantu, pengganti Alm. Pak Karsimin. Hal ini kuutarakan ke Papi lewat
sms dan telah disetujuinya.
“Oke Ni, make a wish !” goda Inge sambil menyalakan lilin, serasa ultah saja.
Kukepalkan kedua tangan dan kupejamkan mata. Bukannya berdo’a dalam hati, mulut malah berucap apa yang kuhajatkan.
“Tuhan, yang pertama..semoga Papi Mami diberi panjang umur dan
kesehatan. Kedua, berkahi dan lancarkan kehidupan Inge karena dia
telah kuanggap saudara kandung-ku sendiri. Terakhir, semoga Pak Mangun
betah di keluargaku. Khususnya menemani-ku, AMIN !”.
Kubuka mata lalu meniup lilin. Saat api padam tepuk tangan
terdengar. Kulihat Inge tersenyum ke arahku, sementara Pak Mangun
menatap tajam. Pipiku merona dipandangi seperti itu, teringat apa yang
kuucapkan. Untuk mengurangi rasa malu, kuraih sepotong kue. Inge
menadahkan piring, tapi potongan kue pertama itu malah kuberikan ke Pak
Mangun yang semakin buatnya dalam menatap. Bumerang bagiku yang jadi
semakin kikuk.
“Yaah !”, Inge cemberut, kuleletkan lidah ke arahnya, namun bibirnya malah semakin manyun.
“Iya iya, niiih…”, kusendoki kue ke piringnya, Inge pun tersenyum senang.
Kami menyantap Black Florest dengan perasaan lepas, ketegangan
diantara kami yang sempat mengganjal telah hilang. Kini sudah berganti
dengan lembaran baru yang putih bersih tak bernoda.
“Enak Pak kuenya ?”.
“Enak Non, baru pernah Bapak makan ini”.
“Oya, nih A’ ?”, aku menyuapinya, Pak Mangun menyambut baik dengan melahap apa yang kusodorkan.
Dia mulai berani menyuapi balik, kuseka mulutnya yang belepotan.
Inge menggoda kami yang terlihat mesra bagaikan Husband & Wife
(What..? ^o^). Bahkan sempat di-abadikan olehnya melalui kamera ponsel.
Selesai makan, aku berdiri dan berbicara.
“Nah, sebagai tuan rumah yang sedang senang, kuputuskan…aku juga
harus buat tamuku senang…karena itu, kalian berdua harus ikut
perintahku Yah ?!” tegas-ku, mereka berdua mengangguk.
“Nge, ambil handycam di kamar !” suruhku.
“Siap Madam hihihi” sahut Inge sambil hormat serasa paskibraka.
“Nah, Pak Mangun..” aku berjalan kebelakangnya, meraih secarik kain
dari saku kimono yang telah kusiapkan sebelumnya. Pak Mangun kaget,
kain itu hendak kugunakan untuk menutupi matanya. Ia sempat mengelak.
“Non, inii…”, ku-stop kalimat dengan menutup mulutnya lewat ciuman,
mata kami pun bertatapan. Ia pun diam biarkan aku melingkari kain itu
ke matanya.
“Tenang aja Pak, aku jamin…Bapak gak akan menyesal. Malah
sebaliknya…akan kubuat Bapak merasakan nikmat yang teramat sangath.
Ketagihanh..sama enaknya..aku janji Pak janji.hh”, aku berbisik nakal
di telinganya dengan nafas berat dan menggigit bibir bawah. Horny,
Yeah…I’m a horny fucking BITCH !.
Pak Mangun mencariku untuk menciumku. Kudorong wajahnya yang sudah
sange abis itu, sarungnya mumbul tinggi di bagian selangkangan.
Burungnya bangun, siap terbang ke alamnya…burung penis Pak Mangun,
alam vaginaku. Awh, tubuhku panas bergairah tak sabar untuk di-entot.
“Eit, nanti duluu…tunggu tanggal mainnya, baru Bapak boleh
lakukan…apa yang Bapak mau, sampaiii puassh” tepisku pada tangannya
yang menggerayang.
Selesai berkata demikian, aku menyentil penisnya pelan. Membuat
lepitan sarung terlepas jatuh ke lantai karena penis ngaceng berat.
Nafasnya menerpa wajahku, birahinya menanjak menuju puncak, tinggal
diledakkan saja. Aku pun sama tak sabar, keinginanku terkabul melihat
Inge kembali dengan handycam. Inge kaget melihat penis Pak Mangun
sudah konak maksimal. Dia bertanya apa resepnya. Aku berpetuah bahwa
cukup dengan kata-kata yang membuat nafsu pria terpancing, di
kombinasi dengan desahan tipis tak berlebihan, dijamin pasti menggoda
(coba deh ^o^).
Kami melangkah menuju kamar di atas, kutuntun Pak Mangun lewat
penisnya yang keras ereksi. Inge menyalakan handycam namun iri ingin
jadi ‘penuntun’ juga. Maka aku pun bergantian, tapi terpaksa kularang
kemudian. Sebab ditengah jalan, Inge malah mengocok maju mundur, bahkan
ingin dihisapnya.
“Hus, jangan ! Ntar peju keburu abis di jalan” omelku, menepis tangan Inge untuk ambil alih kembali ‘tongkat kendali’.
“Gw udah horny banget Ni, emhh…pengen nyepong” kata Inge, penis Pak Mangun berkedut mendengar kata-kata nakal itu.
“Non Nia, kasian Non Inge…udah biar aja kalo dia mau nyepong. Ayo
Non Inge, sepong !” suruh Pak Mangun semangat cabul ’45. (Yee, mau lu
!), umpatku.
“Sabar ya Nge, khan udah kita susun rencananya..” bujukku, Inge
mengangguk. Setengah mati dia menahan birahinya, salah sendiri sih.
***
Ceklek !, pintu kamar terbuka, kulepas kimono berbugil ria, Inge meniru perlakuanku.
“Pak Mangun, selamat datang di Surga Dunia…kami adalah Bidadari yang
disediakan untuk melayani Bapak dengan kepuasan tak terhingga, tanpa
batas”, Pak Mangun tersenyum bahagia mendengar kata-kata itu, tangannya
spontan beraksi grapah-grepeh.
1. The Luckiest Oldman in the World.
Kutuntun dia ke ranjang, kusuruh merebah diri. Kuambil seutas tali
yang telah kusiapkan. Aku ikat tangannya ke masing-masing ujung
ranjang kecuali kaki hingga dia jadi seperti huruf ‘Y’.
“Non Nia, Bapak mau diapain nih ?” tanyanya, takut aku berbuat yang aneh-aneh.
“Tenang aja, khan udah Nia bilang…aku, akan buat Pak Mangun puuash”
kataku, sambil mengocok penisnya yang mengacung semakin tinggi.
Nafasnya sesak, merasakan halus tanganku di penisnya. Dimana kehalusan itu menggesek naik-turun.
“Aku dan Inge akan tunjukkan beberapa tingkat surga kepada Bapak,
mau ?” godaku, dia langsung mengangguk cepat minta segera dikabulkan.
Kukeluarkan semua tehnik oral. Bibir tipisku beraksi
menjilat..menggelitik..menghisap dan meliuri. Kedua tangan Pak Mangun
yang kuikat terlihat menghentak-hentak mau melepaskan diri, namun tak
bisa. Pasti dia ingin menjambak atau semacamnya. Ia pun pasrah pada
kenikmatan yang kuberikan cuma-cuma, dipercayakannya pada mulutku.
Sebagai balasan, akan kubuat dia puas. Jariku yang melingkar di
pangkal batang naik turun, bibirku mengulum kencang, lidahku menyentil
‘Helm’nya.
Penis berkedut-kedut kuperlakukan demikian. Pak Mangun mengangkat
pinggul tinggi-tinggi, jadikan penis yang kusepong tertelan masuk
tenggorokan. Beberapa kali kudorong pinggulnya yang bernafsu itu,
karena kepala penis mencolok kerongkonganku.
CUH ! CUH ! Hap, Mmh…eMmh…Cuph !, kuludahi penis itu berulang kali,
kutangkap dengan mulut, kukulum dan kuakhiri dengan sebuah kecupan di
kepalanya.
“Ohookh, enakh… Nooonh !” racau Pak Mangun serak parau.
Inge tak tahan menonton adegan, ia meng-shot adegan sambil
stimulasi vaginanya sendiri dengan jari, desisannya turut meramaikan.
“Nii…gw-gwe…ikut, Ni.hh..’gak tahan, Aawh !”, Inge menusukkan
jarinya dalam-dalam ke vagina beceknya, memek-ku sendiri juga sudah
lembab.
“Sini…’gak sabar mao nyepong kontol lu ya ?” ajakku, Inge langsung naik ke ranjang.
Kami pun berbagi ‘sosis’ daging manusia, Pak Mangun melenguh minta
ampun karena tambah enak. Inge mengocok pangkal batang, aku melingkari
jari di leher. Mulutku menggelitik kantung menyan, Inge menghisap
kepala penis. Begitu kami bergantian, membimbing Pak Mangun memijak
Surga tingkat pertama.
“Non…Ba-Bapak…keluarh !” lenguh Pak Mangun selangkah menuju surga.
Kubuka penutup matanya agar dia melihat wajah cantik dua gadis yang
menyepong penisnya.
Kudorong wajah Inge dan menghisap kepala penis yang mau muncrat itu
kuat-kuat. Inge yang tak mau kalah balas mendorong untuk kembali
mengambil alih. Alhasil mulut kami bertemu dan, CROOOTTT !!!.
Mani itu muncrat menerpa wajah, menyiprati mata kami berdua.
Mendarat di mata kiriku dan Inge di mata kanan. Bukannya kapok
berhenti, kami malah mengocok lebih gencar. Aku dan Inge membuka lebar
mulut dengan lidah terjulur, “Leeehh…”.
Kecrotan-kecrotan lain menyusul, pinggul Pak Mangun melonjak-lonjak
naik turun. Aku dan Inge rebutan cairan kental yang muncrat-muncrat
itu. Langsung menelan yang masuk ke mulut. Penis layu dalam
genggamanku, Pak Mangun menghela nafas panjang setelah tak ada yang
keluar. Senyum jeleknya seolah-olah mengucap terima kasih. Aku dan
Inge saling membersihkan, menelan sperma yang membercak di
wajah-mulut-leher-jari dan rambut, diakhiri dengan senyum manis ke
arahnya.
“Gimana Pak, ini Surga lantai satu. Bapak mau lanjut ke lantai
berikut…atau stop sampai disini ?” tanyaku menggoda, Pak Mangun lelah
tak mampu berucap kata, hanya mengangguk yang artinya…Tarik Maaang
^o^.
********
Setelah nafas Pak Mangun teratur, giliranku dan Inge menuntut
orgasme. Sebelum mulai, penutup mata kulingkarkan kembali. Aku dan
Inge berlutut tegak, dimana kepala Pak Mangun terletak diantaranya.
Mencium aroma yang familiar, ia bangkit dari rebahnya. Radar hidung
belang mencium area yang sangat digemarinya…Vagina.
“Ayo Pak tebak, ini memek-ku atau memek Inge ? eit, tapi jangan dijilat !” kataku, mengadakan Game Sex.
“Kalo bener gimana, kalo salah gimana Non ?” tanya Pak Mangun cengengesan.
“Kalo bener, Bapak boleh nyetubuhin kita berdua…tapi kalo salah…Bapak cuma boleh ngejilat, ‘gak lebih !”.
“Yah, masa Bapak enggak boleh ngewein Non sih…” keluhnya, takut salah.
“Makanya jangan sampe salah dong !, Bapak khan tadi udah
berkali-kali jilatin memek kita berdua, masa ‘gak hafal…hayoo !”
ledek-ku.
“Yaaaaah…” keluh Pak Mangun lagi, wajahnya merengut seperti anak kecil.
“Iya deh iya…salah atau bener Bapak boleh gituin kita..” sahutku memanjakannya, Pak Mangun pun tersenyum senang.
Hidungnya langsung mengendus vaginaku dan vagina Inge bagai anjing
pelacak jejak. Dasar nakal, dia menggesek bibir vaginaku ke kiri dan
kanan. Dilekatkan lalu dihirupnya dalam-dalam bagai menghirup udara
segar di pegunungan. Aku dan Inge menggigit bibir bawah, setengah mati
menahan suara desahan agar dia tidak tau ini vagina siapa.
“Ini memek Non Nia nih, Bapak yakin Leeeph !” kata Pak Mangun yang
ternyata hafal, desahan terlepas saat vaginaku kena jilat telak.
“Yang ini pasti Non Inge, Leph !” lanjut Pak Mangun menjilat meki Inge, Inge menyusul lepas desahan.
Detik-detik berikutnya, vaginaku dan Inge jadi bulan-bulanan mulut.
Aku tak malu dan ragu membenamkan wajahnya ke milik-ku, begitu juga
Inge walaupun sebelah tangan memegang handycam shot adegan. Kain
penutup matanya kugeser, mata Pak Mangun langsung menatap nanar
vaginaku dan vagina Inge yang tepat dihadapannya.
“Mmm.Sluurpp…Sluuurrpp, Aahhhh…lep lep, Shrrrrrrrrrrrppp leph !”,
begitu kira-kira mulut Pak Mangun melumat habis memek kami. Sebentar
wajahnya menyuruk vaginaku, sebentar vagina Inge.
Matanya menatap penuh nafsu tiap gadis yang dijilati memeknya.
Tubuhku terasa panas, wajahku sayu, lidahku terjulur, mengerang dengan
nafas berat. Aku horny, horny sekali, a horny slut. Kujambak dia dan
kujejali kewanitaanku.
“Ayo Pak, jilat sepuasnya…me-memek ini buat…Bapak.nggh…jilat Pak
jilat !” suruh-ku tak perlu, karena dia sudah melakukan itu semua.
Aku yang egois, mendorong Inge untuk kuasai Pak Mangun. Kukangkangi
wajah penjaga Villa-ku itu, pinggulku bergoyang agar dia lebih mupeng.
“Nih Pak, makaaan…makan memek gw…Bapak suka memek khan.Aahhhh…gila
Nge, gilaaa, gila enak banget.AAAANGGHH !” erangku ketika lidah Pak
Mangun mencolok dalam liang vaginaku.
Lidah kesat itu mengaduk isinya, aku blingsatan meracau tak karuan.
Tubuhku menggigil beberapa detik kemudian. Aku orgasme ooh, enaknya di
jilmek. Lendir cintaku ditenggak hingga habis tak bersisa. Pak Mangun
memang betul-betul pria tua penyuka memek gadis muda. Selesai aku
orgasme, Inge minta jatah, dia mendorong tubuhku yang penuh dengan
peluh.
“Minggir Ni ! nih handycamnya !” kata Inge galak, sudah sange berat
nampaknya dia. Mengangkangi wajah Pak Mangun dan merentang lebar bibir
vaginanya, pamerkan daging merah muda di dalamnya.
“Ayo Pak dijilat terserah Ba.AAAAAHH…Sssh !”, Inge mendesah keras
keenakan. Belum selesai kalimat, Pak Mangun mencelupkan lidahnya
sedalam mungkin.
Berikutnya, vagina mungil Inge dilumat habis, menjadi objek mainan
mulut Pak Mangun. Inge berjongkok menjejali memeknya. Penjaga Villa-ku
itu tentu bahagia diperlakukan seperti itu oleh gadis Indo secantik
Inge.
Kudekatkan handycam ke wajah Inge yang tengah horny. Lalu kusorot ke
bawah ambil adegan. Pak Mangun julurkan lidah menyapu bibir vagina.
Ekspresi nikmat Inge terlihat dari gerak pinggulnya, lidah mencelup
lebih dalam. Memek over basah, digenangi ludah maupun lendir cinta.
Walaupun aku horny berat vagina sudah kembali lembab, aku tetap
bertahan shot adegan.
Cairan bening meleleh tercurah dari vagina Inge, basahi wajah Pak
Mangun. Dahaga buatnya bereaksi menenggak rakus, selama itu juga tubuh
Inge menggelinjang hebat. Pak Mangun bertahak kenyang, puas nikmati
jus cinta Inge. Heaven Tells No Lies.
3. Slave Angel
“Lantas, apa yang Bapak inginkan sekarang ?” tanyaku menantang.
“Bapak mau ngewein Non !” jawabnya blak-blakan yang mudah di duga.
Kulepas ikatannya, handycam kuserahkan ke Inge setelah dia kembali bertenaga.
“Pak Mangun, tolong iket aku Pak !” suruhku, Pak Mangun langsung ‘Hah’, tak percaya pada apa yang di dengarnya.
“Gila lu Ni” komentar Inge.
Reaksiku hanya tersenyum, kupasang posisi doggy style dengan kedua
tangan serong ke depan. Tangan Pak Mangun gemetar saat melingkarkan
tali ke tanganku dan mengikatnya ke sisi ranjang. Kini tubuhku
berposisi huruf Y sama dengan Pak Mangun tadi, bedanya dia tidur
telentang aku telungkup nungging. Pak Mangun diam, aku kira dia
langsung menyerang. Mungkin karena tak pernah melihatku terikat seperti
ini.
“Ayo Pak, masukin ! katanya mau gituan ?”, aku menggoyang pinggul
sambil berkata itu. Betul saja, selang beberapa detik, kurasakan kepala
penis menyentuh pantat.
Kugigit bibir bawah saat jari kurusnya meraih sepasang bibir
vaginaku, dan direntangnya lebar, ZLEEB !. Erangan keluar dari mulutku
lantaran penis amblas keseluruhan, liangku kembali terasa penuh.
“Enakk..memek Non, liat !” celotehnya, meraih pinggulku dan bergerak maju mundur.
Kueratkan genggaman pada tali yang membelit pergelangan tangan,
kepalaku berputar-putar buat rambutku awut-awutan. Aku bertingkah
seperti orang gila. Ya betul, aku memang gila, gila seks, haus akan
sodokan di memek. Pak Mangun semakin bergairah menyodok, semakin dalam
kepala penisnya masuk, terasa hingga ke dinding rahim. Ia menggarapku
sambil berceloteh, ‘keset..keset..legit..peret !’. Inge lagi-lagi
masturbasi mengambil adegan-ku lantaran horny.
“Ayo Pak, hukum Niaa…hukum ak.AAANGGH !”, Pak Mangun gemas dan
menyodok keras. “Ini Nonh, Iniiiih…Nih !*CROT !* Ooookh !”, ia
menggeram disertai semprotan cairan kentalnya di rahimku berkali-kali,
dan hal itu membuat liangku ngilu nikmat. Aku pun orgasme karenanya,
kewanitaanku ‘Crrt..crtt..crrt !’, pipis cairan cinta diiringi tubuh
yang menggigil.
Aku ambruk di ranjang ditindih Pak Mangun. Ekspresi wajahnya
terlihat penuh dengan kepuasan saat mencium pipiku dari belakang.
Setelah Pak Mangun berguling ke samping, penisnya yang penuh dengan
aneka lendir, dijilati Inge sampai bersih. Aku yang nafasnya masih
sedikit tersendat mendekatinya.
“Doyan peju sama kontol lu ya ?!” kataku sambil menatap nafsu ke Inge.
“Sama kayak lu !” sahutnya, dan kami pun berpagutan, dilanjut
meng-oral penis Pak Mangun bersamaan. Penjaga Villa-ku itu kontan konak
kembali.
*****
Pak Mangun menunjuk penisnya yang mengacung. Kode bahwa Inge harus
naik dan bergoyang disitu. Inge berdiri dan melebarkan kedua belah
kaki. Persis di bawahnya ada penis yang mengacung siap senggama.
Inge menggigit telunjuk sambil mengobok-obok vaginanya, perlahan dia
merunduk hingga berjongkok. Sebelah tangannya bertumpu di perut Pak
Mangun, satunya menggenggam penis mengarahkan. Tugas Pak Mangun
merentang lebar bibir vagina.
Blessh !!. “Aaahhhhhh, Yessshh”, Inge merespon pencoblosan.
Pak Mangun berulang kali menelan ludah, nafasnya sesak sebagaimana
penisnya yang terjepit vagina legit sepupuku yang cantik itu. Sementara
Inge mencakar perutnya ketika mereka mulai saling memasuki satu sama
lain. Mereka sama diam tak bergerak, hanya ada erangan dan lenguhan
penyesuaian diri.
Inge mengangkat pinggul tinggi-tinggi, Pak Mangun menekan pinggul
ke bawah, penis terulur. Ditutup dengan Inge menumbuk ke bawah dan
pinggul Pak Mangun ke atas menyodok, penis pun masuk seluruh batang.
“Iyaah-Iyaaaaahh…ayo Pak, entot Inge…ini memek…ini memek…buat Bapak”
desah sepupuku itu, menaik turunkan tubuh dengan gencar, menumbuk
penis yang menancap mantap vaginanya.
Inge meracau demikian sambil meremas payudara sendiri. Pak Mangun
tidak menjawab, hidungnya keluar ingus, liur jangan ditanya berapa
banyak yang meler karena keenakan. Melihat Inge berpakaian lengkap
saja sudah surga bagi pria, apalagi yang dialami Pak Mangun. Tanpa
busana, mendesah lirih, vagina menjepit penis. Luar biasa, nikmat,
surga bagi penjaga Villa-ku itu.
“HHNNNGGKH !!”, Pak Mangun menangkup bongkah pantat Inge dan
menekannya ke bawah. Tubuh Pak Mangun kelojotan nikmati ejakulasi. Inge
didekapnya erat, sepupuku yang cantik itu memasrahkan diri, beruntung
sekali Pak Mangun. Adegan ditutup dengan cipokan penuh nafsu mereka
berdua.
*******
Melihat penis Pak Mangun tertidur, aku dan Inge sepakat harus
berusaha membuatnya kembali tegak. Karenanya kuputar lagu Rihanna –
Please Don’t Stop the Music di tape. Lampu kuatur remang-remang, yang
menggantung diatas aku matikan, yang disamping ranjang bersinar redup
kunyalakan. Handycam kuletakkan di sebuah tempat kuatur agar dapat
semua terekam.
Sebelumnya aku dan Inge ke kamar mandi dahulu membersihkan
kewanitaan kami agar kembali kesat dan wangi. Pak Mangun juga sudah
mencuci penisnya dan menenggak lagi jamu kuatnya. Kusuruh dia rebah di
ranjang dengan tangan kembali terikat. Kami berdua merias diri ala
pelacur, perlengkapan yang kubawa sehari-hari mendukung itu. Kami
kenakan stocking pemain blue film dan high heels sewarna stocking, aku
hitam Inge merah jambu tanpa dalaman.
Pak Mangun menelan ludah lihat kami keluar kamar mandi dengan
dandanan demikian sambil melenggak-lenggokan tubuh. Suara bass yang
bergema keras menambah suasana kian erotis. Penisnya langsung tegak
mengacung minta dimuntahkan isinya agar kembali layu.
“Non, ampun…memek Non, Bapak mau memek Non berdua” pinta Pak Mangun
dengan wajah sange, tangannya yang terikat menghentak-hentak ingin
lepaskan diri.
Kami berdua hanya tersenyum manis sambil terus menari seksi secara
naluri bitchy, jurus-jurus dugem pun keluar. Dengan lacur, Inge naik ke
ranjang dan berdiri tepat di atas Pak Mangun. Wajah penjaga Villa-ku
itu makin sange jelek tak karuan.
Inge memutar pinggulnya dari atas dan berhenti sampai vaginanya
berjarak beberapa senti saja dari wajah Pak Mangun. Mulut Pak Mangun
mencaplok, namun Inge menghindar sambil tertawa manis. Pak Mangun
nampak kesal lantaran hajatnya tak terpenuhi. Inge mendekat kembali,
namun kembali ia mengelak, semakin kesal-lah penjaga Villa-ku itu. Inge
meledek untuk yang ketiga kali, tiba-tiba, ‘TASS !’, tali putus.
“AAAHHHHHHH !!”, Inge mendesah keras memeknya disedot kuat-kuat.
Penjaga Villa-ku itu menangkup pantat Inge agar tidak dapat lari
kemana-mana. Inge hanya mampu mendesah gila dan menjambak pelahap
memeknya. “Godain Bapak lagi, Hmm…Sruuuuupp cup cup, ayo godain Bapak
lagi, Sruuuuuuuup !” kata Pak Mangun gemas.
Ia berbalik merebahkan Inge ke ranjang. Inge malah pasrah
mengangkang. Sepupuku itu nikmati jilmek-an hingga menjerit orgasme.
Pak Mangun puas melihat Inge K.O sementara, ia menangkap lantas
menindihku. Aku digenjotnya naik turun, kalau dipikir-pikir gila juga
aku ini. Sendainya Ortu-ku melihat ini, aku bisa dipecat jadi anak
karena bisa buat malu keluarga.
Pak Mangun berpindah-pindah dari aku ke Inge, kemudian ke aku lagi
dan seterusnya. Hingga nafasnya terdengar berat dan menggeram sewaktu
menggenjot Inge, “Hrrrggh !”. Kaki Inge yang melingkar di pinggangnya
menekan, seakan dia merestui penyetubuhnya ‘Cum inside Pussy’. Pak
Mangun menarik keluar penis dan memasukannya ke vaginaku, untuk memberi
tetes mani terakhir.
***
Esoknya, aku yang lagi enak tidur nyenyak, dibangunkan oleh ranjang
bergoyang serta suara gaduh, suara itu dekat sekali. Kubuka mata dan
benar saja, rupanya wajah Inge maju mundur di depan wajahku, dimana dia
mendesah-desah. Posisinya nungging, Pak Mangun berlutut menyodok dari
belakang.
(Dasar kecanduan seks… bangun pagi langsung ngentot !), batinku.
“Memekh…Memek.enaak…Memeeek…Memeeeekh !” celoteh Pak Mangun keenakan.
Inge meremas sprei acak-acakan, sesuai rambut pirangnya. “Aaahh…Aangghhh…enak, Ni.Aaaahh…Yaahhh…Yesssh” racau Inge.
“What a naughty girl you are Nge” kataku, Inge tersenyum manis meski tubuhnya sedang terpental-pental.
Melihat adegan mereka aku iri, aku pergi ke kamar mandi membilas
tubuh yang lengket serasa ada sarang laba-laba melekat. Setelah bersih
dan kembali wangi, aku balik kembali ke tampat peraduan. Berdiri
disamping Pak Mangun yang langsung sigap melahap organ kewanitaan.
Mulut hitamnya bertautan dengan bibir kemaluanku, lidahnya
menelusup masuk liang, buat tubuhku menggelinjang. Dia kobok vaginaku
dengan jari, gila juga penjaga Villa-ku ini, aku dan Inge di buat fly
to the sky bersamaan. Kobokan gencar yang ditambah jilatan buatku tak
kuasa, kalah jadi orgasme duluan.
Berikutnya lenguhan ejakulasi Pak Mangun terdengar. Tubuhnya
bergidik meresapi kenikmatannya. Inge yang masih terasa ngilu karena
liangnya terus digempur terasa nikmat saat mani tersembur, buatnya
menyusul orgasme. Kami bertiga klimaks.
Pak Mangun ambruk menindih Inge, mengecup pundaknya sebagai ucapan
terima kasih. Puas sekali tampak dia, terlihat dari cerahnya wajah.
“Gimana Pak, puas ?” tanyaku.
“Heh.heh..gak usah ditanya Non heh.heh beribu puas, Non Inge udah
cakep…memeknya legit lagi, enak !, Non Nia juga, makasih memeknya”,
kami tersenyum tahu service kami memuaskan.
***
Menjelang jam 10 pagi, Pak Mangun minta izin pulang sebentar ke
rumahnya, entah mau apa. Setelah dia pergi, tinggallah kami berdua di
Villa. Sebenarnya kami berencana pulang pagi hari ini, tapi karena
kesiangan, tanggung sekalian sore. Sampai rumah malam langsung tidur
saja nanti pikirku, toh masih dalam minggu liburan.
Hampir ½ sejam kami mengobrol tentang aktivitas kami sejauh ini.
Setelah mandi bersih, kuhangatkan sisa ayam semalam untuk sarapan.
Sehabis makan, kami jalan-jalan keliling sekitar Villa, sekalian
menikmati suasana puncak yang damai dan alami. Sepanjang jalan, semua
orang yang kami temui (pria tentunya) memperhatikan kami, bahkan
beberapa menggoda dengan kata-kata.
Melangkah ke sebuah tikungan sepi jalan, tiba-tiba, “Eit, mau kemana
kalian manis hehe ?”, dua pemuda kampung menghentikan langkah
perjalanan pulang kami.
Tidak heran sih, karena hari ini aku dan Inge mengenakan kaus u can
see yang ketat, hingga mencetak bentuk badan dan payudara yang
menggoda. Masalah pun berkembang, kini salah seorang pemuda itu
mengeluarkan sebilah pisau. Aku dan Inge reflex berpeluk erat,
genggaman jemari, siap untuk lari. Dengan cekatan, mereka segera
membentuk formasi menghadang.
“Ayo ikut kita kesana !” bentak pemuda yang mengacungkan pisau.
Kami berdua digiring ke sebuah kebun kosong namun rimbun. Pisau itu
ditodongkan ke punggungku, tangannya sebelah menelusup masuk rok
miniku.
“Montok Sur !” komentarnya, temannya satu lagi yang dipanggil
Sur-sur itu jadi ikutan meremas pantat Inge. “Iya ya… wah, ini sih
bakalan ngewe seharian” katanya, lantas mereka tertawa. Inge nangis
ketakutan, kugenggam erat jarinya, mungkin ia takut kami bukan hanya
diperkosa, tapi juga dibunuh setelahnya.
DUAK !!, “Adaaw…”, ujung pisau yang terasa di punggungku terlepas.
“Eh, Pak Mangun… ampun Pak, gimana kalau kita kasih satu, kita
bagi-bagi” kata si pemuda dengan nada takut melihat Penjaga Villa-ku
tolak pinggang, disangkanya dia ingin meminta jatah.
“Saya nggak butuh !, tahu nggak…siapa yang mau kalian perkosa, Hah
?!” bentak Pak Mangun, kedua pemuda itu menggeleng ngeri melihat tangan
Pak Mangun mengepal.
“MAJIKAN SAYA, TAHU !!”, kedua pemuda itu pun ngibrit ketakutan.
Kuhela nafas panjang. “Non berdua belum diapa-apain kan ?” tanya Pak
Mangun khawatir, sosoknya makin terlihat gagah dihadapan kami.
“Belum Pak, makasih yah…aku sempet tegang tadi. Takutnya mereka bukan cuma mau merkosa, tapi juga minta nyawa” kataku.
“Iya Non, untung aja Bapak ngelihat dari jauh…kalau nggak, wah repot
juga. Tadi Bapak pulang mau kasih khabar ke rumah kalau Bapak dikasih
kerja sama Non Nia dirumahnya, di Jakarta” jelas Pak Mangun. “Ooh
gitu, ya udah…yuk ke Villa lagi Pak !”.
“Oh iya Non, tadi Bapak udah balik ke Villa dulu sebenarnya. Karena
Non berdua nggak ada, makanya Bapak coba cari keluar takut ada apa-apa.
Tahu-tahu di depan pagar ada mobil isi dua cewek sama tiga cowok yang
katanya sodara Non juga, jadi Bapak suruh masuk aja. Sekarang lagi
nunggu…tadi sih Bapak ragu ngelihat tiga laki-laki di bangku
belakangnya itu, mirip berandalan”. (Hah ?!, siapa yach ?), batinku,
sambil kami kembali berjalan ke Villa.
“Siapa Nge ?, lu ngundang orang ‘gak ?” tanyaku keheranan lantas melempar pandangan ke arahnya.
“Oh, jangan-jangan…”, Inge tidak meneruskan kata-katanya, buatku makin penasaran.
Sambil berjalan, Inge meraih Hp di saku celananya. Sinyal lemah
jadikan sms ataupun telepon sulit untuk keluar masuk. Inge BT lantaran
Hp-nya tidak bisa digunakan. Tapi kekesalannya dan penasaranku terjawab
sewaktu Pak Mangun membuka pintu gerbang Villa, kami bertiga lantas
tercengang. (Ya ampuun… Kak Stella ?!).
Stella Mariska, gadis sulung dari keluarga Kakak Mamiku yang tertua.
Kakak sepupuku yang di keluarga dikenal cukup umur namun belum juga
nikah itu, kini dihadapanku menyerahkan kewanitaannya cuma-cuma ke
seorang Kakek pemulung yang tak jelas asal-usul. Dimana berdiri di
dekat situ seorang bocah entah anak atau cucunya, sedang menonton aksi
jilat memek tersebut. Celana pendek Stella sudah melorot selutut.
“Eh, Ni..em.Ahhhh”, Stella menyapa dengan wajah hanyut dalam birahi.
Yahhh…eat my pussy, yeaahhhh !”, lidahnya terjulur sambil meremas topi
kupluk si Bapak, si Bapak jadi makin bersemangat melumat memek gadis
cantik dihadapannya. Stella kena imbasnya dengan menjerit histeris, ia
bahkan berani menjambak rambut si Kakek pemulung.
Keterkejutan bertambah, tatkala melihat adegan lain yang yang tak
kalah heboh. Inggrid, Adik sepupuku, anak Om Bernard Adik Mamiku yang
baru lulus SMU itu, kini setengah tubuhnya terlonjak-lonjak keluar
jendela mobil. Pakaian dan rambutnya acak-acakan.
Inge dan Pak Mangun tetap di tempat mengajak Stella bicara, yang
sempat kudengar kalau Stella tadi menunggu digilir ketiga pemuda
berandalan setelah Inggrid karena dia kalah suit dengannya, lalu
datanglah si Kakek pemulung bawa anak atau cucunya. Karena tak sabar,
bukannya dikasih sampah atau barang bekas malah ditawarinya memek,
kontan saja Kakek itu menuruni sang bocah dan secepat kilat membenamkan
wajah.
Aku bergerak mendekati Inggrid, “Aduuh, Kak Nia… pantat gueehh,
*Plaak !*, Aawh !!. Jangan kasar-kasar gila !, AAWH !”, terdengar suara
tamparan di pantat yang lebih keras dari yang sebelumnya. Sesaat
kemudian tubuh Inggris maju hingga tergencet antara pintu dan orang di
belakangnya, matanya yang bulat jelita terbelalak dengan mulut
membentuk huruf ‘O’. Sepertinya pemuda berambut Mohawk yang menyetubuhi
Inggrid anal klimax.
Pemuda itu menarik keluar penis dengan wajah puas beribu makna. Ia
bertukar tempat dengan salah seorang temannya yang dari segi penampilan
sama, sambil toss dan berkomentar, “Pantatnya jarang dipake’ tuh
cewek…seret be-eng”, mereka bertiga tertawa.
Salah seorang yang duduk di depan yang masih belum kebagian menyela,
“Eh, tuh cewek di luar bisa dipake’ juga dong berarti ?” katanya
menatapku, buatku takut saja. Dia keluar mobil bergerak mendekatiku.
Aku berjalan mundur seraya menoleh ke arah Inge dan Pak Mangun hendak
meminta tolong. Eh, mereka malah sedang asyik berdoggy ria, sebelahan
dengan si Kakek pemulung dan Stella, pake’ acara tukar pasangan pula.
(Plis deeh… ini sih nggak mungkin pulang hari ini !!!), batinku.
Dan benar saja, aku bersama sepupu-sepupuku yang nakal itu akhirnya
orgy dengan para pria tersebut di atas, dan baru di-izinkan boleh
pulang minggu depan. Semenjak itu, kalau ada orgy di Villa, mereka
semua selalu kami undang kehadirannya.
source,, lebih banyak lagi klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar