Telah belasan tahun berpraktek aku di kawasan kumuh ibu kota,
tepatnya di kawasan
Pelabuhan Rakyat di Jakarta Barat. Pasienku lumayan
banyak, namun rata-rata dari kelas menengah ke bawah. Jadi sekalipun
telah belasan tahun aku berpraktek dengan jumlah pasien lumayan, aku
tetap saja tidak berani membina rumah tangga, sebab aku benar-benar
ingin membahagiakan isteriku, bila aku memilikinya kelak, dan
kebahagiaan dapat dengan mudah dicapai bila kantongku tebal, simpananku
banyak di bank dan rumahku besar.
Namun aku tidak pernah mengeluh akan keadaanku ini. Aku tidak ingin
membanding-bandingkan diriku pada Dr. Susilo yang ahli bedah, atau Dr.
Hartoyo yang spesialis kandungan, sekalipun mereka dulu waktu masih
sama-sama kuliah di fakultas kedokteran sering aku bantu dalam
menghadapi ujian. Mereka adalah bintang kedokteran yang sangat cemerlang
di bumi pertiwi, bukan hanya ketenaran nama, juga kekayaan yang tampak
dari Baby Benz, Toyota Land Cruiser, Pondok Indah, Permata Hijau, Bukit
Sentul dll.
Dengan pekerjaanku yang melayani masyarakat kelas bawah, yang sangat
memerlukan pelayanan kesehatan yang terjangkau, aku memperoleh kepuasan
secara batiniah, karena aku dapat melayani sesama dengan baik. Namun,
dibalik itu, aku pun memperoleh kepuasan yang amat sangat di bidang non
materi lainnya.
Suatu malam hari, aku diminta mengunjungi pasien yang katanya sedang
sakit parah di rumahnya. Seperti biasa, aku mengunjunginya setelah aku
menutup praktek pada sekitar setengah sepuluh malam. Ternyata sakitnya
sebenarnya tidaklah parah bila ditinjau dari kacamata kedokteran, hanya
flu berat disertai kurang darah, jadi dengan suntikan dan obat yang
biasa aku sediakan bagi mereka yang kesusahan memperoleh obat malam
malam, si ibu dapat di ringankan penyakitnya.
Saat aku mau meninggalkan rumah si ibu, ternyata tanggul di tepi
sungai jebol, dan air bah menerjang, hingga mobil kijang bututku serta
merta terbenam sampai setinggi kurang lebih 50 senti dan mematikan mesin
yang sempat hidup sebentar. Air di mana-mana, dan aku pun membantu
keluarga si ibu untuk mengungsi ke atas, karena kebetulan rumah petaknya
terdiri dari 2 lantai dan di lantai atas ada kamar kecil satu-satunya
tempat anak gadis si ibu tinggal.
Karena tidak ada kemungkinan untuk pulang, maka si Ibu menawarkan aku
untuk menginap sampai air surut. Di kamar yang sempit itu, si ibu
segera tertidur dengan pulasnya, dan tinggallah aku berduaan dengan anak
si ibu, yang ternyata dalam sinar remang-remang, tampak manis sekali,
maklum, umurnya aku perkirakan baru sekitar awal dua puluhan.
“Pak dokter, maaf ya, kami tidak dapat menyuguhkan apa apa, agaknya
semua perabotan dapur terendam di bawah”, katanya dengan suara yang
begitu merdu, sekalipun di luar terdengar hamparan hujan masih mendayu
dayu.
“Oh, enggak apa-apa kok Dik”, sahutku.
Dan untuk melewati waktu, aku banyak bertanya padanya, yang ternyata bernama Sri.
Ternyata Sri adalah janda tanpa anak, yang suaminya meninggal karena
kecelakaan di laut 2 tahun yang lalu. Karena hanya berdua saja dengan
ibunya yang sakit-sakitan, maka Sri tetap menjanda. Sri sekarang bekerja
pada pabrik konveksi pakaian anak-anak, namun perusahaan tempatnya
bekerja pun terkena dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan.
Saat aku melirik ke jam tanganku, ternyata jam telah menunjukkan
setengah dua dini hari, dan aku lihat Sri mulai terkantuk-kantuk, maka
aku sarankan dia untuk tidur saja, dan karena sempitnya kamar ini, aku
terpaksa duduk di samping Sri yang mulai merebahkan diri.
Tampak rambut Sri yang panjang terburai di atas bantal. Dadanya yang
membusung tampak bergerak naik turun dengan teraturnya mengiringi
nafasnya. Ketika Sri berbalik badan dalam tidurnya, belahan bajunya agak
tersingkap, sehingga dapat kulihat buah dadanya yang montok dengan
belahan yang sangat dalam. Pinggangnya yang ramping lebih menonjolkan
busungan buah dadanya yang tampak sangat menantang. Aku coba merebahkan
diri di sampingnya dan ternyata Sri tetap lelap dalam tidurnya.
Pikiranku menerawang, teringat aku akan Wati, yang juga mempunyai
buah dada montok, yang pernah aku tiduri malam minggu yang lalu, saat
aku melepaskan lelah di panti pijat tradisional yang terdapat banyak di
kawasan aku berpraktek. Tapi Wati ternyata hanya nikmat di pandang,
karena permainan seksnya jauh di bawah harapanku. Waktu itu aku
hampir-hampir tidak dapat pulang berjalan tegak, karena burungku masih
tetap keras dan mengacung setelah ‘selesai’ bergumul dengan Wati.
Maklum, aku tidak terpuaskan secara seksual, dan kini, telah seminggu
berlalu, dan aku masih memendam berahi di antara selangkanganku.
Aku mencoba meraba buah dada Sri yang begitu menantang, ternyata dia
tidak memakai beha di bawah bajunya. Teraba puting susunya yang mungil.
dan ketika aku mencoba melepaskan bajunya, ternyata dengan mudah dapat
kulakukan tanpa membuat Sri terbangun. Aku dekatkan bibirku ke putingnya
yang sebelah kanan, ternyata Sri tetap tertidur. Aku mulai merasakan
kemaluanku mulai membesar dan agak menegang, jadi aku teruskan permainan
bibirku ke puting susu Sri yang sebelah kiri, dan aku mulai meremas
buah dada Sri yang montok itu. Terasa Sri bergerak di bawah himpitanku,
dan tampak dia terbangun, namun aku segera menyambar bibirnya, agar dia
tidak menjerit. Aku lumatkan bibirku ke bibirnya, sambil menjulurkan
lidahku ke dalam mulutnya. Terasa sekali Sri yang semula agak tegang,
mulai rileks, dan agaknya dia menikmati juga permainan bibir dan
lidahku, yang disertai dengan remasan gemas pada ke dua buah dadanya.
Setalah aku yakin Sri tidak akan berteriak, aku alihkan bibirku ke
arah bawah, sambil tanganku mencoba menyibakkan roknya agar tanganku
dapat meraba kulit pahanya. Ternyata Sri sangat bekerja sama, dia
gerakkan bokongnya sehingga dengan mudah malah aku dapat menurunkan
roknya sekaligus dengan celana dalamnya, dan saat itu kilat di luar
membuat sekilas tampak pangkal paha Sri yang mulus, dengan bulu kemaluan
yang tumbuh lebat di antara pangkal pahanya itu.
Kujulurkan lidahku, kususupi rambut lebat yang tumbuh sampai di tepi
bibir besar kemaluannya. Di tengah atas, ternyata clitoris Sri sudah
mulai mengeras, dan aku jilati sepuas hatiku sampai terasa Sri agak
menggerakkan bokongnya, pasti dia menahan gejolak berahinya yang mulai
terusik oleh jilatan lidahku itu.
Sri membiarkan aku bermain dengan bibirnya, dan terasa tangannya
mulai membuka kancing kemejaku, lalu melepaskan ikat pinggangku dan
mencoba melepaskan celanaku. Agaknya Sri mendapat sedikit kesulitan
karena celanaku terasa sempit karena kemaluanku yang makin membesar dan
makin menegang.
Sambil tetap menjilati kemaluannya, aku membantu Sri melepaskan
celana panjang dan celana dalamku sekaligus, sehingga kini kami telah
bertelanjang bulat, berbaring bersama di lantai kamar, sedangkan ibunya
masih nyenyak di atas tempat tidur.
Mata Sri tampak agak terbelalak saat dia memandang ke arah bawah
perutku, yang penuh ditumbuhi oleh rambut kemaluanku yang subur, dan
batang kemaluanku yang telah membesar penuh dan dalam keadaan tegang,
menjulang dengan kepala kemaluanku yang membesar pada ujungnya dan
tampak merah berkilat.
Kutarik kepala Sri agar mendekat ke kemaluanku, dan kusodorkan kepala
kemaluanku ke arah bibirnya yang mungil. Ternyata Sri tidak canggung
membuka mulutnya dan mengulum kepala kemaluanku dengan lembutnya. Tangan
kanannya mengelus batang kemaluanku sedangkan tangan kirinya meremas
buah kemaluanku. Aku memajukan bokongku dan batang kemaluanku makin
dalam memasuki mulut Sri. Kedua tanganku sibuk meremas buah dadanya,
lalu bokongnya dan juga kemaluannya. Aku mainkan jariku di clitoris Sri,
yang membuatnya menggelinjang, saat aku rasakan kemaluan Sri mulai
membasah, aku tahu, saatnya sudah dekat.
Kulepaskan kemaluanku dari kuluman bibir Sri, dan kudorong Sri hingga
telentang. Rambut panjangnya kembali terburai di atas bantal. Sri mulai
sedikit merenggangkan kedua pahanya, sehingga aku mudah menempatkan
diri di atas badannya, dengan dada menekan kedua buah dadanya yang
montok, dengan bibir yang melumat bibirnya, dan bagian bawah tubuhku
berada di antara kedua pahanya yang makin dilebarkan. Aku turunkan
bokongku, dan terasa kepala kemaluanku menyentuh bulu kemaluan Sri, lalu
aku geserkan agak ke bawah dan kini terasa kepala kemaluanku berada
diantara kedua bibir besarnya dan mulai menyentuh mulut kemaluannya.
Kemudian aku dorongkan batang kemaluanku perlahan-lahan menyusuri
liang sanggama Sri. Terasa agak seret majunya, karena Sri telah menjanda
dua tahun, dan agaknya belum merasakan batang kemaluan laki-laki sejak
itu. Dengan sabar aku majukan terus batang kemaluanku sampai akhirnya
tertahan oleh dasar kemaluan Sri. Ternyata kemaluanku cukup besar dan
panjang bagi Sri, namun ini hanya sebentar saja, karena segera terasa
Sri mulai sedikit menggerakkan bokongnya sehingga aku dapat mendorong
batang kemaluanku sampai habis, menghunjam ke dalam liang kemaluan Sri.
Aku membiarkan batang kemaluanku di dalam liang kemaluan Sri sekitar
20 detik, baru setelah itu aku mulai menariknya perlahan-lahan, sampai
kira-kira setengahnya, lalu aku dorongkan dengan lebih cepat sampai
habis. Gerakan bokongku ternyata membangkitkan berahi Sri yang juga
menimpali dengan gerakan bokongnya maju dan mundur, kadangkala ke arah
kiri dan kanan dan sesekali bergerak memutar, yang membuat kepala dan
batang kemaluanku terasa di remas-remas oleh liang kemaluan Sri yang
makin membasah.
Tidak terasa, Sri terdengar mendasah dasah, terbaur dengan dengusan
nafasku yang ditimpali dengan hawa nafsu yang makin membubung. Untuk
kali pertama aku menyetubuhi Sri, aku belum ingin melakukan gaya yang
barangkali akan membuatnya kaget, jadi aku teruskan gerakan bokongku
mengikuti irama bersetubuh yang tradisional, namun ini juga membuahkan
hasil kenikmatan yang amat sangat. Sekitar 40 menit kemudian, disertai
dengan jeritan kecil Sri, aku hunjamkan seluruh batang kemaluanku dalam
dalam, kutekan dasar kemaluan Sri dan seketika kemudian, terasa kepala
kemaluanku menggangguk-angguk di dalam kesempitan liang kemaluan Sri dan
memancarkan air maniku yang telah tertahan lebih dari satu minggu.
Terasa badan Sri melamas, dan aku biarkan berat badanku tergolek di
atas buah dadanya yang montok. Batang kemaluanku mulai melemas, namun
masih cukup besar, dan kubiarkan tergoler dalam jepitan liang
kemaluannya. Terasa ada cairan hangat mengalir membasahi pangkal pahaku.
Sambil memeluk tubuh Sri yang berkeringat, aku bisikan ke telinganya,
“Sri, terima kasih, terima kasih..”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar